Jumat, 25 April 2014

HUKUM PERJANJIAN



Nama   : Nita Ratnasari
NPM   : 25212355
Kelas   : 2EB23


BAB I
PENDAHULUAN
          A.           Latar Belakang 
Dasar hukum perjanjian internasional adalah pasal 38 ayat 1 piagam  mahkamah Internasional, yang menyatakan perjanjian internasional harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional Perjanjian internasional adalah sebagai sumber hukum internasional dengan alasan: Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, karena perjanjian internasional diadakan secara tertulis Perjanjian internasioanl mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subjek hukum internasional.

          B.            Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dari Standar Kontrak?
2.      Mengetahui Macam-macam Perjanjian?
3.      Syarat Sahnya Perjanjian?
4.      Saat Lahirnya Perjanjian?
5.      Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian?

          C.            Tujuan Penulisan
-          Untuk Mengetahui dan Memahami Standar Kontrak
-          Untuk Mengetahui Macam-Macam Perjanjian
-          Untuk Mengetahui Syarat Sahnya Perjanjian
-          Untuk Mengetahui Saat Lahirnya Perjanjian
-          Untuk Mengetahui Saat Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanji




BAB II
PEMBAHASAN
11.       Standar kontrak
adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
—  perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
—  is one in which there is great disparity of bargaining power that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by the stronger party or forego the transaction.
—  Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Jenis-jenis kontrak standar
—  Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
a.       kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b.       kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c.       kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
—  Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a.       kontrak standar menyatu;
b.      kontrak standar terpisah.
—  Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
a.       kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
b.       kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saatpenutupan.
c.        pengertian perjanjian
untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita melihat pasal 1313 KUHPdt, yaitu “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah seperti :
(a)    Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
(b)   Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechmatige daad) yang tidka mengandung suatu konsensus. Seharusnya pakai kata “persetujuan”.
(c)    Pengertian penjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian pada pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.

(d)   Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan nama dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contract). Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPdt yang akan dibicarakan kemudian.
Perjanjian yang dibuat dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk tertulis berupa suatu akta. Perjanjian yang dibuat secara tertulis (akta) biasanya untuk kepentingan pembuktian, misalnya polis pertanggungan.
Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut diatas tadi, tersimpullah unsur-unsur perjanjian itu seperti:
(a)    Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang
Pihak-pihak ini disebut subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu atau wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.
(b)   Ada persetujuan antara pihak-pihak itu
Persetujuan disini bersifat tetap, bukan sedang berunding. Perundingan itu adalah tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan. Persetujuan iyu ditunjuakan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran. Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya.Yang ditawarkan adalah yang dirundingkan dan umumnya mengenai syarat-syarat perjanjian.
(c)    Ada tujuan yang akan dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jiak mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.
(d)   Ada prestasi yang akan dilaksanakan
Dengan adanya persetujuan, maka timbullah kewajiabn untuk melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.
(e)    Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan
Bentuk ini perlu ditentukan, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentum tertentu itu biasanya berupa akta. Perjanjian itu dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak, itu sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis (akta).
(f)    Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Syarat-syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi perjanjian. Karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak. Syarat-syarat ini biasanya terdiri dari syarat pokokyang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok, misalnya mengenai barangnya, harganya dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misaknya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan lain-lain.
2.      Macam-macam perjanjian
(a)   perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain berhak menerima benda yang diberikan itu.
Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
(b)   Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan B sejumlah uang, jika B menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisa berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341 KUHPdt).
(c)    Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
(d)   Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
Pentinganya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
(e)    Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).
Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum (perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini disebut “kontan atau tunai”.
3.      Syarat sahnya perjanjian
Bagaimana syarat sah suatu perjanjian?
Berdasarkan pasal 1320 Kitap Undang-Undang
Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
terdapat kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
kedua belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan perjanjian tersebut;
terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
            Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam  pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
·         orang-orang yang belum dewasa
·         mereka yang ditaruh didalam pengampunan
·         orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang  telah melarang membuat perjanjian tertentu.
            Dari sudaut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan “terikat” oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Dedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus seseorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
            Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
            Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 kitab Undang-undang Hukum Perdata).
            Untuk perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam pengertian “keperluan rumah-tangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang stri dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau seorang dalam membuat suatu perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia tidak membuat perjanjian itu sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis.
            Dan terdapat syarat perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”. Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut, yakni melahirkan suatu perkaitan hukum adalah gagal. Dengan  demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
            Dalam hal syarat subjektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu digagalkan. Pihak yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang dibuatnya itu  mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi. Dengan demikian nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.
4.      Saat lahirnya perjanjian
            Menurut azas konsensualitas, sesuai perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa  yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah suatu pesesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut . apa yang dikehendaki oleh pihak satu adalah yang dikehendaki oleh pihak lainnya, meskipun tidak sejurusan tapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
            Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian  dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah tercapai kesepakatan tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
            Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian  kehendak antara kedua belah pihak. Apabila  kedua belah pihak itu berselisih, tak dapat dilahirkan suatu perjanjian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata(KUHPerdata) Pasal 1331 (1) dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
            Artinya, apabila obyek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut dibatalkan demi hukum. Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim.
            Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memenuhi unsursubjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan di hadapan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian ini (wan prestasi)?
            Terdapat langkah pasti yang bisa mengatasi persoalan ini, yaitu pihak yang tidak melaksanakan perjanjian akan dimintai tanggung jawabnya sebagai pihak yang telah lalai atau bahkan melanggar perjanjian.
Pihak yang tidak melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut.
mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang satunya;
materi perjanjiannya dibatalkan oleh kedua belah pihak atau di hadapan hakim;
mendapatkan peralihan resiko; dan
membayar seluruh biaya perkara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya ke muka hakim.
5.      Pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian
·         *      Pembatalan suatu perjanjian
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and void). Dalam hal demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian dan semula tidak ada perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakin karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan tidak ada perjanjian atau perikatan.
            Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan pihak yang memberikan perijinan  atau menyetujui itu secara tidak bebas.
            Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan.
            Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas, yaitu:
·         Pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.
·         Kehilafan atau Kekeliruan, Apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
·         Penipuan, Apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan –keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk membujuk para lawannya memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.
            Dengan demikian maka ketidak-cakapan dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijian dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi perlindungan. Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibatasi sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam hal ketidak-cakapan suatu pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu  telah berhenti. Dalam hal kehilafan atau penipuan sejak lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembela atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakin untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu sampai ia diguga dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut.
            Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya yaitu, oleh Undang-undang ditetapka suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yag demikian itu tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.
·         *      Pelaksanaan suatu perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melasanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibadi menjadi tiga macam:
1)       Perjanjian untuk memberikan / menyerahkan suatu barang.
Contohnya: jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai.
2)      Perjanjian untuk berbuat sesuatu
Contohnya: perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garansi, dan lain-lain.
3)      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Contohnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebaginya.
Suatu persoalan hukum  dalam hukum perjanjian ialah persoalan apakah jika si berhutang atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut peranjian. Jika itu terjadi, kemungkinan perjanjian tadi dapat dieksekusi secara rill.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara ,udah dapat dijalankan secara rill, asal saja bagi si berpiutang (kreditur)tidak penting oleh siapa perbuatan itu dilakukan , misalnya membeuat sebuah garasi, yang dapat dengan mudah dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu adalah lukisan, perbuatan itu dapat dillakukan oleh orang lain selain pelukis yang menjanjikan sebiuh lukisan. Karena itu, maka perjanjian bersifat sangat pribadi , tidak dapat dilaksanakan secara rill, apabila pihak yang menyanggupi melakukan hal tersebut tidak menepati janjinya.
Perjanjian memberikan barang tertentu (artinya barang yang telah disetujui atau dipilih), dapat dikatakan bahwa ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi rill itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang yang bergerak yang tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi rill tak mungkin dilakukan.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi dari perjanjian-perjanjian tersebut. Menurut pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-undang, yang terdapat dalam adat kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus diindahkan.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Suatu perikatan bisa timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang – UU dan perjanjian adalah sumber perikatan. Dalam suatu perjanjian, para pihak yang menandatanganinya sengaja menghendaki adanya hubungan hukum diantara mereka – menghendaki adanya perikatan. Motivasi tindakan para pihak adalah untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang akan mengatur hubungan mereka, sehingga inisiatif munculnya hak dan kewajiban perikatan itu ada pada mereka sendiri. Beda halnya dengan perikatan yang bersumber pada undang-undang, dimana hak dan kewajiban yang muncul bukan merupakan motivasi para pihak melainkan karena undang-undang mengaturnya demikian.
Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya hubungan hukum perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.


Daftar Pustaka
·         Katuuk, Neltje F. 1994. Aspek Hukum Dalam Bisnis.  Februari
·         Muhammad, Abdulkadir. 1992. Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti



2 komentar: