Jumat, 01 Januari 2016

Kode Etik Profesi Akuntansi


Nama             : Nita Ratnasari

 

NPM              : 25212355

 

Kelas              : 4eb23


1.       Kode Perilaku Profesional

Kode Perilaku Profesional AICPA menyediakan baik standar umum perilaku yang ideal maupun peraturan perilaku khusus yang harus diberlakukan.

Prinsip
Standar perilaku etis yang ideal yang dinyatakan dalam istilah filosofis
Ini tidak dapat diberlakukan
Peraturan prilaku
Standar minimum dari pihak yang dinyatakan sebagai peraturan spesifik
Ini dapat diberlakukan
Interpretasi peraturan perilaku
Interpretasi  atas peraturan perilaku oleh Divisi Etika Profesional dari AICPA
Ini tidak dapat diberlakukan, tetapi para praktisi harus memberikan alasn jika terjadi penyimpangan
Kaidah etika
Penjelasan yang diterbitkan dan jawaban atas pertanyaan tentang peraturan perilaku yang diserahkan kepada AICPA oleh para praktisi sdan pihak lain yang berkepentingan dengan persyaratan etis.
Ini tidak dapat diberlakukan, tetapi para praktisi harus memberikan alas an jika terjadi penyimpangan

 
2.       Prinsip-prinsip Etika : IFAC, AICPA,IAI

Prinsip-prinsip yang membentuk kode perilaku profesi sudah ditentukan dan dipegang teguh oleh profesi tersebut. Sebagai contoh terdapat prinsip-prinsip kode etik menurut lembaga-lembaga yang mengaturnya, antara lain :

  1. Menurut IFAC
Menurut The International Federation of Accountants, seorang profesi dituntut memiliki berbagai sikap seperti :

1)      Integritas, seorang akuntan harus memiliki sikap yang tegas dan jujur dalam semua hubungan bisnis profesional.

2)      Objektivitas, seorang akuntan melakukan tugasnya sesuai dengan objek tidak memandang subjek yang ia sedang melakukan penilaian secara independen.

3)      Kompetensi profesional dan Kesungguhan, seorang akuntan harus berkompeten dan senantiasa menjaga ilmu pengetahuan dan selalu meningkatkan kemampuan agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan.

4)      Kerahasian, seoang akuntan harus selalu menjaga dan menghormati kerahasiaan atas informasi klien yang ia lakukan pelayanan.

5)      Perilaku Profesional, seorang akuntan harus taat akan hukum dan dilarang melakukan hal-hal yang membuat nama akuntan buruk.


2.      Menurut AICPA

Menurut American Institute of Certified Public Accountants, seorang profesi dituntut memiliki berbagai sikap seperti :

1)      Tanggung Jawab, seorang akuntan sebagai profesional, harus menerapkan nilai moral serta bertanggung-jawab di setiap pelayanannya.

2)      Kepentingan Umum, seorang akuntan harus menerima kewajibannya untuk melayani publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen terhadap profesionalisme.

3)      Integritas, selalu mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik terhadapnya.

4)      Objektivitas dan Independensi, seorang akuntan harus mempertahankan objektibitas dan bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawabnya.

5)      Due Care, seorang akuntan harus mematuhi standar teknis dan etis profesinya, selalu berusaha terus-menerus untuk meningkatkan kompetensi yang dimilikinya.

6)      Sifat dan Cakupan Layanan, seorang akuntan harus memperhatikan prinsip-prinsip dari kode etik profesional dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang akan disediakan.

  1. Menurut IAI
Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia, seorang profesi dituntut memiliki berbagai sifat seperti :

1)      Tanggung Jawab Profesi

Dalam prinsip  tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota berkewajibanmenggunakan pertimbangan moral dan profesional setiap melakukan kegiatannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota memiliki tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka.

2)      Kepentingan Publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, mengormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan.

3)      Integritas

Integritas adalah suatu satu kesatuan yang mendasari munculnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang mendasari kepercayaan publik dan merupakan standar bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus menjaga tingkat integritasnya dengan terus memaksimalkan kinerjanya serta mematuhi apa yang telah menjadi tanggung jawabnya.

4)      Objektivtias

Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota berdasarkan apa yang telah pemberi nilai dapatkan. Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur, secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.

5)      Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota tidak diperkenankan menggambarkan pengalaman kehandalan kompetensi atau pengalaman yang belum anggota kuasai atau belum anggota alami. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi 2 fase yang terpisah:

a)                   Pencapaian Kompetensi Profesional.

Pencapaian ini pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subjek- subjek yang relevan. Hal ini menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.

b)   Pemeliharaan Kompetensi Profesional.
Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui komitmen, pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti perkembangan profesi akuntansi, serta anggotanya harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsisten.
6)      Kerahasiaan

Dalam kegiatan umum auditor merupakan memeriksa beberapa yang seharusnya tidak boleh orang banyak tahu, namun demi keprofesionalitasannya, para auditor wajib menjaga kerahasiaan para klien yang diauditnya. Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selam melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staff di bawah pengawasannya dan orang- orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.

7)      Perilaku Profesional

Kewajiban untuk menghindari perbuatan atau tingkah laku yang dapat mendiskreditkan atau mengurangi tingkat profesi harus dipenuhi oleh anggota sebgai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staff, pemberi kerja dan masyarakat umum.
8)      Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan profesionalitasnya sesuai dengan standar teknis dan standar professional yang ditetapkan secara relevan. Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh IAI, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang- undangan yang relevan.
3.        Aturan dan Interpretasi Etika

Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya. Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya. Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.
Contoh Kasus:

KASUS  LIPPO

Beberapa   kasus   yang   hampir   serupa   juga   terjadi   di   Indonesia, salah   satunya   adalah   laporan   keuangan   ganda   Bank   Lippo   pada   tahun 2002. Kasus Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh Bapepam  untuk periode 30 September  2002, yang masing- masing   berbeda.   Laporan   yang   berbeda   itu,   pertama,   yang   diberikan kepada   publik   atau   diiklankan   melalui   media   massa   pada   28   November 2002. Kedua, laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan  publik, dalam hal ini  kantor akuntan publik Prasetio,   Sarwoko   dan   Sandjaja   dengan   auditor   Ruchjat   Kosasih   dan disampaikan   kepada   manajemen   Bank   Lippo   pada   6   Januari   2003.   Dari ketiga versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan mencantumkan ”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan yang disampaikan pada 6 Januari 2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya   penurunan   AYDA   (agunan   yang   diambil   alih)   sebesar   Rp   1,42 triliun,   total aktiva  Rp  22,8  triliun, rugi   bersih   sebesar   Rp   1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk laporan keuangan yang diiklankan pada   28   November   2002   ternyata   terdapat   kelalaian   manajemen   dengan mencantumkan   kata   audit.   Padahal   laporan   tersebut   belum   diaudit, dimana angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih tercatat Rp   98,77   miliar,   dan   CAR   24,77   %.   Karena   itu   BAPEPAM   menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar,   karena   pencantuman   kata   ”diaudit”   dan   ”opini   wajar   tanpa pengecualian”   di   laporan   keuangan   30   September   2002   yang dipublikasikan   pada   28   Nopember   2002,   dan   juga   menjatuhkan   sanksi denda sebesar Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian   informasi   penting   mengenai   penurunan   AYDA   Bank   Lippo selama 35 hari. Kasus-kasus skandal diatas menyebabkan profesi akuntan beberapa   tahun   terakhir   telah   mengalami   krisis   kepercayaan.   Hal   itu mempertegas   perlunya   kepekaan   profesi   akuntan   terhadap   etika.   Jones, et   al.   (2003)   lebih   memilih   pendekatan   individu   terhadap   kepedulian etika  yang  berbeda   dengan  pendekatan  aturan  seperti  yang   berdasarkan pada   Sarbanes   Oxley   Act.   Mastracchio   (2005)   menekankan   bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum   mahasiswa   akuntansi   masuk   di   dunia   profesi   akuntansi.   Dari kedua kasus di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan  terdapat   masalah  yang   cukup  pelik di   mana di  satu  sisi  para akuntan   harus   menunjukkan   independensinya   sebagai   auditor   dengan menyampaikan hasil audit ke masyarakat secara obyektif, tetapi di sisi lain   mereka   dipekerjakan   dan   dibayar   oleh   perusahaan   yang   tentunya memiliki kepentingan tersendiri.

 

Referensi :




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar