Nama : Nita Ratnasari
NPM : 25212355
Kelas : 2EB23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dasar hukum perjanjian internasional
adalah pasal 38 ayat 1 piagam mahkamah Internasional, yang
menyatakan perjanjian internasional harus diadakan oleh subjek hukum
internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional Perjanjian
internasional adalah sebagai sumber hukum internasional dengan alasan:
Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, karena perjanjian
internasional diadakan secara tertulis Perjanjian internasioanl mengatur
masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subjek hukum
internasional.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian dari Standar Kontrak?
2. Mengetahui
Macam-macam Perjanjian?
3. Syarat
Sahnya Perjanjian?
4. Saat
Lahirnya Perjanjian?
5. Pembatalan
dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian?
C. Tujuan
Penulisan
-
Untuk Mengetahui dan Memahami Standar Kontrak
-
Untuk Mengetahui Macam-Macam Perjanjian
-
Untuk Mengetahui Syarat Sahnya Perjanjian
-
Untuk Mengetahui Saat Lahirnya Perjanjian
-
Untuk Mengetahui Saat Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu
Perjanji
BAB II
PEMBAHASAN
11.
Standar
kontrak
adalah perjanjian yang isinya telah
ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang
digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen
tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
— perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
— is
one in which there is great disparity of bargaining power that the weaker party
has no choice but to accept the terms imposed by the stronger party or forego
the transaction.
— Perjanjian
baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun
yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu
secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak
lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi
penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal
yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1.
Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu
oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2.
Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik
adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Jenis-jenis
kontrak standar
— Ditinjau
dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka
ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
a. kontrak
standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b. kontrak
standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c. kontrak
standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
— Ditinjau
dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat
dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a. kontrak
standar menyatu;
b. kontrak
standar terpisah.
— Ditinjau
dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
a. kontrak
standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
b. kontrak
standar yang tidak perlu ditandatangani saatpenutupan.
c. pengertian
perjanjian
untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita melihat pasal 1313 KUHPdt,
yaitu “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Ketentuan pasal
ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan.
Kelemahan-kelemahan tersebut adalah seperti :
(a) Hanya
menyangkut sepihak saja
Hal
ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya
hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya
perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
(b) Kata
perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
Dalam
pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa
(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechmatige daad) yang tidka
mengandung suatu konsensus. Seharusnya pakai kata “persetujuan”.
(c) Pengertian
penjanjian terlalu luas.
Pengertian
perjanjian pada pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan
perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal
yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta
kekayaan saja.
(d) Tanpa
menyebut tujuan
Dalam
perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga
pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Atas
dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa
yang dimaksud dengan perjanjian. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka
“perjanjian adalah suatu persetujuan dengan nama dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Hukum yang
mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contract).
Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat
perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPdt yang akan dibicarakan kemudian.
Perjanjian
yang dibuat dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk
tertulis berupa suatu akta. Perjanjian yang dibuat secara tertulis (akta)
biasanya untuk kepentingan pembuktian, misalnya polis pertanggungan.
Apabila
diperhatikan perumusan perjanjian tersebut diatas tadi, tersimpullah unsur-unsur
perjanjian itu seperti:
(a) Ada
pihak-pihak, sedikitnya dua orang
Pihak-pihak
ini disebut subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia
pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu atau wenang
melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.
(b) Ada
persetujuan antara pihak-pihak itu
Persetujuan
disini bersifat tetap, bukan sedang berunding. Perundingan itu adalah
tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan. Persetujuan
iyu ditunjuakan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran. Apa yang
ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya.Yang
ditawarkan adalah yang dirundingkan dan umumnya mengenai syarat-syarat
perjanjian.
(c) Ada
tujuan yang akan dicapai
Tujuan
mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak itu,
kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jiak mengadakan perjanjian dengan pihak
lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.
(d) Ada
prestasi yang akan dilaksanakan
Dengan
adanya persetujuan, maka timbullah kewajiabn untuk melaksanakan suatu prestasi.
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan
perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual
berkewajiban menyerahkan barang.
(e) Ada
bentuk tertentu, lisan atau tulisan
Bentuk
ini perlu ditentukan, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan
bentuk tertentu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.
Bentum tertentu itu biasanya berupa akta. Perjanjian itu dapat dibuat secara
lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami
oleh pihak-pihak, itu sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya
dibuat secara tertulis (akta).
(f) Ada
syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Syarat-syarat
tertentu ini sebenarnya sebagai isi perjanjian. Karena dari syarat-syarat
itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak. Syarat-syarat ini
biasanya terdiri dari syarat pokokyang akan menimbulkan hak dan kewajiban
pokok, misalnya mengenai barangnya, harganya dan juga syarat pelengkap atau
tambahan, misaknya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan
lain-lain.
2. Macam-macam
perjanjian
(a) perjanjian
timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian
timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan
yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian
jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Perjanjian
sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak
kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu
berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain
berhak menerima benda yang diberikan itu.
Yang
menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah
pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak
maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk
menghuni rumah.
Pembadaan
ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan
perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat
adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
(b) Perjanjian
percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian
percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak
saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan
alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Kontra
prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat
potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan B sejumlah uang, jika B
menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A.
Pembedaan
ini mempunyai arti penting dalam soal warisa berdasarkan undang-undang dan
mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal
1341 KUHPdt).
(c) Perjanjian
bernama dan tidak bernama
Perjanjian
bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan
sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya
jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama
adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
(d) Perjanjian
kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian
kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini
sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah
perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak
dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual
berhak atas pembayaran harga.
Pentinganya
pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan
(levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum
atau tidak.
(e) Perjanjian
konsensual dan perjanjian real
Perjanjian
konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak
antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya,
misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal
1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).
Dalam
hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat
hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum (perjanjian) yang objeknya benda
tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjdi
peralihan hak. Hak ini disebut “kontan atau tunai”.
3. Syarat
sahnya perjanjian
Bagaimana
syarat sah suatu perjanjian?
Berdasarkan
pasal 1320 Kitap Undang-Undang
Hukum
Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
terdapat
kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran
tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah
pihak dapat menunaikan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
kedua
belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak
dalam keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan
pihak tertentu yang bisa membatalkan perjanjian tersebut;
terdapat
suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut
merupakan objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
hukum
perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang disepakati
merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya,
setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah
cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata
disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
:
· orang-orang
yang belum dewasa
· mereka
yang ditaruh didalam pengampunan
· orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya
semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian
tertentu.
Dari sudaut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan
“terikat” oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi
benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu.
Dedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu
perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus
seseorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang
dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh
dibawah pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta
kekayaannya. Ia berada dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan
seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus
diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah
pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami,
untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis)
dari suaminya (pasal 108 kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Untuk perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam
pengertian “keperluan rumah-tangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai
oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang stri dimasukkan dalam golongan
orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan
seorang anak yang belum dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh
orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau
seorang dalam membuat suatu perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia
tidak membuat perjanjian itu sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini
berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang
membantunya itu. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin
tertulis.
Dan terdapat syarat perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu
syarat objektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah
“batal demi hukum”. Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu
perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan
perjanjian tersebut, yakni melahirkan suatu perkaitan hukum adalah gagal.
Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
Dalam hal syarat subjektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian
bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar
perjanjian itu digagalkan. Pihak yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang
tidak cakap atau pihak yang memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi,
perjanjian yang dibuatnya itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan
(oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi. Dengan
demikian nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung
pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.
4. Saat
lahirnya perjanjian
Menurut azas konsensualitas, sesuai perjanjian dilahirkan pada detik
tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal
yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah suatu
pesesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut . apa yang dikehendaki
oleh pihak satu adalah yang dikehendaki oleh pihak lainnya, meskipun tidak
sejurusan tapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu
perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan
apakah tercapai kesepakatan tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang adanya suatu
persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua belah
pihak itu berselisih, tak dapat dilahirkan suatu perjanjian. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata(KUHPerdata)
Pasal 1331 (1) dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Artinya, apabila obyek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang
tulus, maka secara otomatis hukum
perjanjian tersebut dibatalkan demi hukum. Sehingga masing-masing pihak tidak
mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim.
Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memenuhi unsursubjektif,
misalnya salah satu pihak berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu,
maka perjanjian ini dapat dibatalkan di hadapan hakim. Sehingga, perjanjian
tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan
berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian. Kemudian
timbul pertanyaan, bagaimana apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
perjanjian ini (wan prestasi)?
Terdapat langkah pasti yang bisa mengatasi
persoalan ini, yaitu pihak yang tidak melaksanakan perjanjian akan dimintai
tanggung jawabnya sebagai pihak yang telah lalai atau bahkan melanggar
perjanjian.
Pihak
yang tidak melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut.
mengganti kerugian yang
diderita oleh pihak yang satunya;
materi perjanjiannya
dibatalkan oleh kedua belah pihak atau di hadapan hakim;
mendapatkan
peralihan resiko; dan
membayar
seluruh biaya perkara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya
ke muka hakim.
5. Pembatalan
dan pelaksanaan suatu perjanjian
·
Pembatalan
suatu perjanjian
Dalam
syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila
syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and
void). Dalam hal demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian
dan semula tidak ada perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat
perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang
mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu
menuntut pihak yang lain di muka hakin karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim
ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan tidak ada perjanjian atau
perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang
subjektif, perjanjian ini bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan
pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang
tidak cakap menurut hukum, dan pihak yang memberikan perijinan atau
menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya
yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini
perlindungan hukum terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada
kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak
yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak.
Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat
dimintakan pembatalan.
Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas,
yaitu:
· Pemaksaan adalah
pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.
· Kehilafan atau Kekeliruan, Apabila
salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian,
ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut
harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal
tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
· Penipuan, Apabila
satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan –keterangan palsu atau tidak
benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk membujuk
para lawannya memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara
aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.
Dengan demikian maka ketidak-cakapan dan ketidak-bebasan dalam memberikan
perijian dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap
dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta
pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan
dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan. Hak meminta
pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang
diberi perlindungan. Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dibatasi
sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam hal ketidak-cakapan suatu
pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal paksaan, sejak hari
paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kehilafan atau penipuan sejak lahir
diketahuinya kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak
berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembela atau tangkisan yang
mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan
perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai
penggugat meminta kepada hakin untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu
sampai ia diguga dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata,
ada kekecualiannya yaitu, oleh Undang-undang ditetapka suatu formalitas untuk
beberapa macam perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan benda tak bergerak
harus dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara
tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan
sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian formil.
Apabila perjanjian yag demikian itu tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan
oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.
·
Pelaksanaan
suatu perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain,
atau dimana dua orang saling berjanji untuk melasanakan sesuatu.
Menilik
macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibadi
menjadi tiga macam:
1) Perjanjian
untuk memberikan / menyerahkan suatu barang.
Contohnya:
jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa,
pinjam-pakai.
2) Perjanjian
untuk berbuat sesuatu
Contohnya:
perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk
membuat garansi, dan lain-lain.
3) Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu
Contohnya:
perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebaginya.
Suatu
persoalan hukum dalam hukum perjanjian ialah persoalan apakah jika si
berhutang atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur
dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si
berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan
sendiri apa yang menjadi haknya menurut peranjian. Jika itu terjadi,
kemungkinan perjanjian tadi dapat dieksekusi secara rill.
Perjanjian
untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara ,udah dapat
dijalankan secara rill, asal saja bagi si berpiutang (kreditur)tidak penting
oleh siapa perbuatan itu dilakukan , misalnya membeuat sebuah garasi, yang
dapat dengan mudah dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu
adalah lukisan, perbuatan itu dapat dillakukan oleh orang lain selain pelukis
yang menjanjikan sebiuh lukisan. Karena itu, maka perjanjian bersifat sangat
pribadi , tidak dapat dilaksanakan secara rill, apabila pihak yang menyanggupi
melakukan hal tersebut tidak menepati janjinya.
Perjanjian
memberikan barang tertentu (artinya barang yang telah disetujui atau dipilih),
dapat dikatakan bahwa ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi
rill itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang yang bergerak yang
tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi rill tak mungkin
dilakukan.
Untuk
melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan
cermat apa saja isi dari perjanjian-perjanjian tersebut. Menurut pasal
1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam
perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang. Dengan demikian maka
setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam
Undang-undang, yang terdapat dalam adat kebiasaan, sedangkan
kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus diindahkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Suatu perikatan
bisa timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang – UU dan
perjanjian adalah sumber perikatan. Dalam suatu perjanjian, para pihak yang
menandatanganinya sengaja menghendaki adanya hubungan hukum diantara mereka –
menghendaki adanya perikatan. Motivasi tindakan para pihak adalah untuk
memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang akan mengatur hubungan mereka,
sehingga inisiatif munculnya hak dan kewajiban perikatan itu ada pada mereka
sendiri. Beda halnya dengan perikatan yang bersumber pada undang-undang, dimana
hak dan kewajiban yang muncul bukan merupakan motivasi para pihak melainkan
karena undang-undang mengaturnya demikian.
Perjanjian diatur
dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “suatu
perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Berbeda dengan perikatan yang merupakan
suatu hubungan hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum.
Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya hubungan hukum perikatan,
sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
Daftar Pustaka
· Katuuk,
Neltje F. 1994. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Februari
· Muhammad,
Abdulkadir. 1992. Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti
bagus sekali artikel ini " jadi nambah" pengetahuan
BalasHapus"Thank you for nice information
BalasHapusPlease visit our website unimuda and uhamka"